8.08.2010

PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA (BAGIAN 1)

Dari berbagai ibadah dalam  Islam,  puasa  di  bulan  Ramadhan
barangkali   merupakan   ibadat  wajib  yang  paling  mendalam
bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman  selama  sebulan
dengan  berbagai  kegiatan  yang menyertainya seperti berbuka,
tarawih dan makan sahur senantiasa  membentuk  unsur  kenangan
yang  mendalam  akan  masa kanak-kanak di hati seorang Muslim.
Maka  ibadah  puasa  merupakan  bagian  dari  pembentuk   jiwa
keagamaan  seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di
waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim  menampilkan
corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan
beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka  kekhasan
bangsa   kita  dalam  menyambut  dan  menjalani  ibadah  puasa
Ramadhan telah pula menjadi perhatian  orang  Muslim  Arab  di
akhir   abad   yang   lalu.  Seorang  sarjana  bernama  Riyadl
menyebutkan  bahwa  di  Jawa  (yang  dicampuradukkan   olehnya
sebagai  bagian  dari India) para pemeluk Islam mempunyai cara
yang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah  puasa.  Mereka
itu, kata Prof. Riyadl.
 
    pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari
    untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian
    melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan
    membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz'
    sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada
    suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa
    mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang
    menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi
    terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang
    buncis. [1]
 
Dari penuturan sederhana itu maka  tidak  terlalu  salah  jika
kita  kaum  Muslim  Indonesia  mempunyai  kesan yang amat khas
tentang bulan Ramadhan, agaknya  lebih  dari  kaum  Muslim  di
negeri-negeri  lain.  Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaan
dengan intensitas yang tinggi, yang bakal  meninggalkan  kesan
mendalam  pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhan
pada bangsa  kita  tercermin  juga  dalam  suasana  Hari  Raya
Lebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentu
akan baik sekali jika kita  memahami  berbagai  hikmah  ibadah
puasa yang kita jalankan selama bulan itu.
 
PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT
 
Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah  yang  khas  ini,  ada
baiknya  kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu,
guna memperoleh sedikit bahan perbandingan  tentang  bagaimana
puasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia.
 
Firman   Allah   berkenaan   dengan   kewajiban  kaum  beriman
menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya  kewajiban  serupa
atas  manusia  sebelum  mereka:  "Wahai  sekalian  orang  yang
beriman! Diwajibkan atas kamu  sekalian  berpuasa  sebagaimana
telah   diwajibkan   atas   mereka  sebelum  kami,  agar  kamu
bertaqwa."  [2]  Ini  menunjukkan  adanya  ibadat  puasa  pada
umat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
 
Menurut  para  ahli,  puasa merupakan salah satu bentuk ibadat
yang paling mula-mula  serta  yang  paling  luas  tersebar  di
kalangan  umat  manusia.  Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat
berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu
tempat  ke  tempat  yang  lain.  Bentuk puasa yang umum selalu
berupa sikap menahan diri dari  makan  dan  minum  serta  dari
pemenuhan  kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan
diri  dari  bekerja,  malah  dari  berbicara.   Puasa   berupa
penahanan  diri  dari  berbicara  dituturkan  dalam  al-Qur'an
pernah dijalankan  oleh  Maryam,  ibunda  Nabi  Isa  al-Masih.
Karena  terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah
melakukan suatu perbuatan  keji  (sebab  ia  telah  melahirkan
seorang  putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk
melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun
juga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini:
 
    ... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam),
    serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau
    melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya
    aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm)
    kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak
    akan berbicara kepada siapapun jua. [3]
 
Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran  jasmani
dan   ruhani   secara  sukarela  dari  sebagian  kebutuhannya,
khususnya  dari  kebutuhan  yang  menyenangkan.   Pengingkaran
jasmani  dari  kebutuhannya,  yaitu  makan  dan  minum,  dapat
beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri  dari
makan  dan  minum  itu  secara  mutlak  (artinya, semua bentuk
makanan dan minuman  dihindari,  tanpa  kecuali),  sejak  dari
fajar  sampai  terbenam  matahari.  Tetapi  ada umat lain yang
berpuasa  dengan  menghindari  beberapa  jenis  makanan   atau
minuman  tertentu  saja.  Konon  kaum Sabean (al-Shabi'un) dan
para pengikut Manu  (al-Manuwiyyun),  yaitu  kelompok-kelompok
keagamaan  di  Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan
Persia,  adalah  umat-umat  yang  menjalankan   puasa   dengan
menghindari  jenis  tertentu makanan dan minuman itu. Demikian
pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen  Timur
di Asia Barat dan Mesir.
 
Dari  segi  waktu  pun  terdapat  keanekaragaman  dalam amalan
berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian
siang,  atau  seluruh  siang,  atau siang dan malam sekaligus.
Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya  untuk  malam  hari.
Karena  itu  sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa
perlu meneranghan hikmah puasa siang hari  saja  seperti  yang
dijalankan   oleh  kaum  Muslim.  Maka  al-Jurjawi,  misalnya,
memandang bahwa puasa di siang hari adalah  yang  lebih  utama
daripada  di  malam  hari,  karena  lebih berat. Ini dikaitkan
dengan ketentuan, menurut sebuah Hadist  Nabi,  bahwa  "Ibadat
yang  paling  utama  ialah  yang paling mengigit (ahmaz yakni,
paling berat)",  dan  bahwa  "Sebaik-baik  amalan  ialah  yang
paling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangat
berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah  (exercise),  yaitu
latihan  keruhanian,  sehingga  semakin berat semakin baik dan
utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan  raga  orang
yang melakukannya.
 
Berkenaan  dengan  puasa  di  bulan  Ramadhan, disebutkan oleh
al-Jurjawi bahwa sebagian  ahli  tafsir  Yahudi  dan  Kristen,
namun  kemudian  mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukup
kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali  barangkali
untuk  orang-orang  Yahudi  dan Kristen Arab di Jazirah Arabia
karena terpengaruh atau meneruskan  adat  kebiasaan  setempat.
Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyak
dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya
suku  Quraisy.  Dan  memang  banyak  amalan yang disyari'atkan
dalam  Islam  telah  pula   disyari'atkan   kepada   umat-umat
sebelumnya,   sebagaimana   diisyaratkan  dalam  firman  Allah
tersebut  di  atas,  sebagaimana  juga   jelas   bahwa   Islam
mengukuhkan  sebagian  ibadat  sebelum Islam, seperti beberapa
amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya  itu  dibersihkan
dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid. [5]
 
Berdasarkan  itu  semua  dapat dikatakan bahwa puasa merupakan
salah satu mata rantai  yang  menunjukkan  segi  kesinambungan
atau  kontinuitas  agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadi
salah satu bukti bahwa  agama  itu  merupakan  kelanjutan  dan
penyempurnaan  dari  agama-agama  Allah  yang telah diturunkan
kepada   umat-umat   sebelumnya.   Segi   kesinambungan   atau
kontinuitas  Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan
hal yang dengan sangat  kukuh  dijelaskan  dalam  Kitab  Suci,
yaitu  dalam  perspektif  bahwa  peran Nabi Muhammad saw ialah
tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan
Rasul sebelumnya sepanjang sejarah:
 
    Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan)
    kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan
    kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang
    telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
    Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub,
    Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah
    Kami berikan Kitab Zabur.
    
    Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka
    itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul
    yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan
    sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa.
    
    Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman,
    agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah
    sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha
    Bijaksana.
    
    Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada
    engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu
    pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan
    (sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [6]
 
PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI
 
Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya  firman  Tuhan  (dalam
bentuk  Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia)
adalah untuk dirinya kecuali puasa,  sebab  puasa  itu  adalah
untuk-Ku,  dan  Aku-lah  yang  akan  memberinya  pahala."  [7]
Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan
bahwa puasa itu
 
    ... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari
    amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak
    melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan
    syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya
    (Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan
    segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih
    mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu
    rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang
    lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat
    melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala
    sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya
    demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang
    tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat
    puasa.[8]
 
Jadi salah satu  hakikat  ibadah  puasa  ialah  sifatnya  yang
pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang
manusia dengan Tuhannya. Dan segi  kerahasiaan  itu  merupakan
letak  seorang  manusia  dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan
itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu
sendiri  terkait  erat  dengan makna keikhlasan dan ketulusan.
Antara  puasa  yang  sejati  dan  puasa  yang  palsu  hanyalah
dibedakan  oleh,  misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh
seseorang ketika ia berada sendirian.
 
Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian  kesadaran  akan
adanya  Tuhan  yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak
tidak pernah lengah sedikitpun dalam  pengawasan-Nya  terhadap
segala  tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan
nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah)  itu  bersama  kamu
dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala
sesuatu yang kamu perbuat." [9] "Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat;  maka  ke  mana  pun  kamu  menghadap, di sanalah Wajah
Allah." [10] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan  manusia,
dan  Kami  mengetahui  apa  yang  dibisikkan oleh hatinya Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat  lehernya  sendiri."  [11]
"Ketahuilah   olehmu  sekalian  bahwa  Allah  menyekat  antara
seseorang dan hatinya sendiri..." [12]
 
Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik  Islam
(Salaf)  yang  hidup  sekitar  tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn
Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751  H).  Penjelasan  serupa
juga  dikemukakan  oleh  'Ali  Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh
pemikir Islam di Zaman  Modern  dari  Mesir.  Dalam  uraiannya
tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan:
 
    Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i
    (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat
    (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak,
    padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba
    dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih.
    Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari
    syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik
    itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah
    Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia.
    Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam
    kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan -
    (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan
    Yang Maha Agung itu untuk melanggar
    larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman,
    dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia
    merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia
    mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan.
    Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka,
    dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak
    menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut
    kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar. 

No comments:

Post a Comment