8.08.2010

PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA (BAGIAN 2)

Dari penjelasan itu tampak bahwa sesungguhnya inti  pendidikan
Ilahi  melalui  ibadah  puasa  ialah  penanaman dan pengukuhan
kesadaran   yang   sedalam-dalamnya    akan    ke-MahaHadir-an
(omnipresence)  Tuhan.  Adalah  kesadaran  ini  yang melandasi
ketaqwaan atau  merupakan  hakikat  ketaqwaan  itu,  dan  yang
membimbing  seseorang  ke  arah  tingkah  laku  yang  baik dan
terpuji. Dengan begitu dapat diharapkan ia akan tampil sebagai
seorang   yang  berbudi  pekerti  luhur,  ber-akhlaq  karimah.
Kesadaran  akan  hakikat  Allah  yang  Maha  Hadir   itu   dan
konsekuensinya  yang  diharapkan  dalam  tingkah laku manusia,
digambarkan dengan kuat sekali dalam Kitab Suci:
 
    "Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui segala
    sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu
    yang ada di bumi?! Sama sekali tidak ada suatu bisikan
    dari tiga orang, melainkan Dia adalah Yang Keempat; dan
    tidak dari empat orang, melainkan Dia adalah Yang
    Kelima; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia adalah
    Yang Keenam; dan tidak lebih sedikit daripada itu
    ataupun lebih banyak, melainkan Dia beserta mereka di
    manapun mereka berada. Kemudian Dia akan membeberkan apa
    yang telah mereka perbuat itu di Hari Kiamat.
    Sesungguhnya Allah Maha Tahu akan segala sesuatu." [14]
 
Sekali lagi, dari keterangan di atas itu  tampak  bahwa  puasa
adalah   suatu   ibadat   yang   berdimensi  kerahasiaan  atau
keprivatan (privacy) yang amat  kuat.  Dari  situ  juga  dapat
ditarik  pengertian  bahwa puasa adalah yang pertama dan utama
merupakan  sarana   pendidikan   tanggungjawab   pribadi.   Ia
bertujuan  mendidik  agar kita mendalami keinsyafan akan Allah
yang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat  dan
tempat.
 
Atas dasar keinsyafan itu hendaknya kita tidak menjalani hidup
ini dengan santai, enteng dan remeh,  melainkan  dengan  penuh
kesungguhan  dan  keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat
akan  kita  pertanggungjawabkan  kepada  Khaliq  kita   secara
pribadi.    Tentang    betapa   dimensi   pribadi   (personal)
tanggungjawab kita dalam Pengadilan Tuhan di Hari Akhirat itu,
Kitab  Suci  al-Qur'an  memberi  gambaran  amat  kuat  sebagai
berikut:
 
    Wahai sekalian umat manusia! Bertaqwalah kamu sekalian
    kepada Tuhanmu, dan waspadalah terhadap hari ketika
    seorang orang tua tidak dapat menolong anaknya, dan
    tidak pula seorang anak dapat menolong orang tuanya
    sedikitpun jua. Sesungguhnya janji Allah itu benar
    (pasti terjadi), maka janganlah sampai kehidupan duniawi
    (kehidupan rendah) memperdayamu sekalian, dan jangan
    pula tentang (wajib patuh kepada) Allah itu kamu
    sekalian sampai terpedaya oleh apapun yang dapat
    memperdaya. [15]
    
    Waspadalah kamu sekalian terhadap hari ketika tidak
    seorang pun dapat membantu orang lain, dan ketika
    perantaraan tidak dapat diterima, dan tidak pula tebusan
    bakal diambil, dan mereka semuanya tidak akan dibela.
    [l6]
 
Ini semuanya sudah tentu  sejajar  dengan  berbagai  penegasan
dalam  Islam  bahwa  manusia  dihargai  dalam  pandangan Allah
menurut amal perbuatannya berdasarkan taqwanya,  suatu  ajaran
tentang   orientasi  prestasi  yang  tegas,  dalam  pengertian
pandangan bahwa penghargaan kepada seseorang didasarkan kepada
apa   yang   dapat   diperbuat  dan  dicapai  oleh  seseorang.
Sebaliknya Islam melawan orientasi prestise,  yaitu  pandangan
yang    mendasarkan    penghargaan   kepada   seseorang   atas
pertimbangan segi-segi  askriptif  seperti  faktor  keturunan,
daerah,  warna  kulit,  bahasa  dll.  Orientasi seperti faktor
keturunan,  daerah,  warna  kulit,  bahasa,   dll.   Orientasi
prestasi  berdasarkan  kerja  ini  kemudian  dikukuhkan dengan
ajaran tentang tanggung jawab yang bersifat mutlak pribadi  di
Akhirat kelak.
 
PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN
 
Sebegitu  jauh  kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa
sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab
pribadi.  Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri
mengisyaratkan  adanya  aspek  sosial  dalam  perwujudan  pada
kehidupan  nyata  di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab
sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang  sama,  yang
sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa
dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab  itu  tidak  bisa
dipisahkan,  sehingga  tiadanya  salah satu dari keduanya akan
mengakibatkan peniadaan yang lain.
 
Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan  bahwa  salah
satu  hikmah  ibadah  puasa  ialah  penanaman rasa solidaritas
sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan  bahwa
ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik
sebanyak-banyaknya,  terutama  perbuatan  baik  dalam   bentuk
tindakan  menolong  meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu
zakat, sedekah, infaq, dll.
 
Dari sudut  pandangan  itulah  kita  harus  melihat  kewajiban
membayar  zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang
akhir bulan suci itu.  Seperti  diketahui,  fithrah  merupakan
konsep  kesucian  asal  pribadi  manusia, yang memandang bahwa
setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci  bersih.  Karena
itu  zakat  fitrah  merupakan  kewajiban  pribadi  berdasarkan
kesucian  asalnya,  namun  memiliki  konsekuensi  sosial  yang
sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap
zakat atau  "sedekah"  (shadagah,  secara  etimologis  berarti
"tindakan  kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan
bagi golongan fakir-miskin  serta  mereka  yang  berada  dalam
kesulitan  hidup  seperti  al-riqab  (mereka yang terbelenggu,
yakni, para budak; dalam istilah modern dapat  berarti  mereka
yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun
(mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang
yang  terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan
beban  hidup  mereka.  Sasaran  zakat  yang  lain  pun   masih
berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan
umum atau sosial, seperti  sasaran  amil  atau  panitia  zakat
sendiri,  kaum  mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan
Allah),   kepentingan    masyarakat    dalam    artian    yang
seluas-luasnya.
 
Sebenarnya  dimensi  sosial  dari hikmah puasa ini sudah dapat
ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab  Suci,
yaitu  taqwa.  Dalam  memberi penjelasan tentang taqwa sebagai
tujuan puasa  itu,  Syeikh  Muhammad  'Abduh  menunjuk  adanya
kenyataan  bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan
puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan  utama
"membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar
senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam  urusan  hidup
mereka  di  dunia  ini.  Ini sejalan dengan kepercayaan mereka
bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan
diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.
 
Cara  pandang  kaum  musyrik  itu  merupakan konseknensi faham
mereka  tentang  Tuhan  sebagai  yang  harus  didekati  dengan
sesajen,   berupa   makanan  atau  lainnya  (termasuk  manusia
sendiri) yang "disajikan" kepada  Tuhan.  Altar  di  kuil-knil
bangsa  Inka  di  banyak  bagian  Amerika  Selatan, umpamanya,
menunjukkan adanya praktek  "ibadat"  mendekati  Tuhan  dengan
sesajen    berupa   korban   manusia.   Demikian   pula   pada
bangsa-bangsa  lain,  praktek  serupa  juga   tercatat   dalam
sejarah,   seperti  pada  bangsa-bangsa  Mesir  kuna,  Romawi,
Yunani, India, dll.
 
Hal  itu  tentu  berbeda  dengan  ajaran  agama  Tawhid   yang
mengajarkan  manusia  untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya
(Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama  ini  diajarkan
bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum
pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik,
yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada
sesama  manusia  dalam  masyarakat:  "Maka  barangsiapa  ingin
berjumpa  dengan  Tuhannya,  hendaknyalah ia berbuat baik, dan
janganlah   dalam   berbakti   kepada    Tuhannya    itu    ia
memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17]
 
Berkaitan  dengan  ini,  Islam  memang mengenal ajaran tentang
ibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah  itu,  korban
(qurban)  adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun
pendekatan itu terjadi bukan karena materi  korban  itu  dalam
arti  sebagai  sesajen,  melainkan karena taqwa yang ada dalam
jiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah  korban  itu  tercermin
dalam  kegunaan  nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan
meringankan beban anggota masyarakat  yang  kurang  beruntung:
"Tidaklah  bakal  sampai  kepada  Allah daging korban itu, dan
tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah
taqwa dari kamu." [18]
 
Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan
kepada Allah bukanlah penderitaan  lapar  dan  dahaga  itu  an
sich,  melainkan  rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuh
prihatin  itu.  Dengan   perkatauan   lain,   Tuhan   tidaklah
memerlukan  puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang
Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah  untuk
kebaikan  diri  kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat yang lebih luas.
 
Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari
amal  saleh,  tali  hubungan  dengan  Allah  (habl min Allah -
"hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan  dari  hubungan
dengan  sesama  manusia  (habl min al-nas -"hablum minannas"),
taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn
al-khuluq   atau   al-akhlaq  al  karimah).  Ini  antara  lain
ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
budi pekerti luhur." [19]
 
Ibadah puasa selama sebulan  itu  diakhiri  dengan  Hari  Raya
Lebaran  atau  Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang
menggambarkan tentang saat  kembalinya  fitrah  atau  kesucian
asal  manusia  setelah  hilang karena dosa selama setahun, dan
setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa.  Dalam  praktek
yang  melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi
dari Lebaran itu ialah sikap-sikap  dan  perilaku  kemanusiaan
yang  setulus-tulusnya  dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan
pembayaran zakat fitrah yang dibagikan  kepada  fakir  miskin,
diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan
besar pada shalat Id, kemudian  dikembangkan  dalam  kebiasaan
terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat,
keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas
aspek  sosial  dari  hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas
nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah  kepada  kita  itu
maka  pada  hari  Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan
kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai
Hadits  mengarahkan  agar  pada hari Lebaran tidak seorang pun
tertinggal dalam bergembira dan berbahagia,  tanpa  berlebihan
dan melewati batas.
 
Karena  itu  zakat  fitrah  sebenarnya  lebih banyak merupakan
peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota  masyarakat
untuk  berbagi  kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung,
yang terdiri dari para fakir  miskin.  Dari  segi  jumlah  dan
jenis  materialnya  sendiri,  zakat  fitrah  mungkin  tidaklah
begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban  yang  telah
disinggung  di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah
maknanya  sebagai  lambang   solidaritas   sosial   dan   rasa
perikemanusiaan.  Dengan  perkataan  lain, zakat fitrah adalah
lambang  tanggung-jawab  kemasyarakatan  kita  yang  merupakan
salah  satu  hasil  pendidikan  ibadah  puasa,  dan  yang kita
menifestasikan secara spontan.
 
Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus  diberi
substansi  lebih  lanjut  dan  lebih besar dalam seluruh aspek
hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta  usaha
mewujudkan  masyarakat  yang  sebaik-baiknya,  yang berintikan
nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna  firman  Allah
berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:
 
    Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari
    berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir
    mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan
    oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu
    sekalian bersyukur. [20]
 
"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin"  (semoga  kita  semua  tergolong
mereka  yang  kembali  ke fitrah kita --dan yang menang-- atas
nafsu-egoisme kita).
 
CATATAN KAKI
 
 1. Syeikh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri' wa
    Falsafatuhu, 2 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun),
    Jil. 1, hh. 233-4.
    
 2. QS. al-Baqarah/2:183
    
 3. QS. Maryam/19:26.
    
 4. al-Jurjawi, h 227
    
 5. Lihat, Ibid, h.h. 232-3
    
 6. QS. al-Nisa'/4:163-6.
    
 7. Lihat al-Jurjawi, h. 228. Hadits dengan makna yang
    sama juga dikutip oleh al-Sayyid Muhammad Husayn
    al-Thaba'thabati dalam Al Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 21
    jilid (Beirut: Mu'assat al-A'lami, 1403/1983), jil. 2, h
    25. Al- Thaba'thabati juga memberikan uraian dengan nada
    dan makna yang sama dengan al-Jawzi dan al-Jurjawi.
    
 8. Abu 'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, Zad al-Ma'ad
    fi Huda Khayr al-Ibad, 4 jilid (Beirut: Dar al-Fikr,
    1392/1973), Jil. I, h 154.
    
 9. QS. al-Hadid/57:4.
    
10. QS. al-Baqarah/2 :183.
 
11. QS. Qaf/50:16.
 
12. QS. al-Anfal/8:24.
 
13. al-Jurjawi, h 212.
 
14. QS. al-Mujadalah/58:7
 
15. QS. Luqman/31:33.
 
16. QS. al-Baqarah/2:48 dan 123).
 
17. QS. al-Kahf718:110.
 
18. QS. al-Hajj/22:37.
 
19. Hadits shahih, riwayat al-Tarmidzi dan al-Hakim
    (Lihat Bulugh al-maram, Hadits No. 1561)
    
20. QS. al-Baqarah/2:185

No comments:

Post a Comment