KISAH/CERITA

Asal Usul Perayaan Valentine


Pada zaman modern ini, hari Valentine didominasi oleh hati berwarna pink dan yang dipanah oleh Cupid. Padahal asal-usul perayaan ini justru sangat berbeda jauh dengan simbol-simbol cinta ini.
Valentine sebenarnya adalah seorang biarawan Katolik yang menjadi martir. Valentine dihukum mati oleh kaisar Claudius II karena menentang peraturan yang melarang pemuda Romawi menjalin hubungan cinta dan menikah karena mereka akan dikirim ke medan perang.
Ketika itu, kejayaan kekaisaran Romawi tengah berada di tengah ancaman keruntuhannya akibat kemerosotan aparatnya dan pemberontakan rakyat sipilnya. Di perbatasan wilayahnya yang masih liar, berbagai ancaman muncul dari bangsa Gaul, Hun, Slavia, Mongolia dan Turki. Mereka mengancam wilayah Eropa Utara dan Asia. Ternyata wilayah kekaisaran yang begitu luas dan meluas lewat penaklukan ini sudah memakan banyak korban, baik dari rakyat negeri jajahan maupun bangsa Romawi sendiri. Belakangan mereka tidak mampu lagi mengontrol dan mengurus wilayah yang luas ini.
Untuk mempertahankan kekaisarannya, Claudius II tak henti merekrut kaum pria Romawi yang diangap masih mampu bertempur, sebagai tentara yang siap diberangkatkan ke medan perang. Sang kaisar melihat tentara yang mempunyai ikatan kasih dan pernikahan bukanlah tentara yang bagus. Ikatan kasih dan batin dengan keluarga dan orang-orang yang dicintai hanya akan melembekkan daya tempur mereka. Oleh karena itu, ia melarang kaum pria Romawi menjalin hubungan cinta, bertunangan atau menikah.
Valentine, sang biarawan muda melihat derita mereka yang dirundung trauma cinta tak sampai ini. Diam-diam mereka berkumpul dan memperoleh siraman rohani dari Valentine. Sang biarawan bahkan memberi mereka sakramen pernikahan. Akhirnya aksi ini tercium oleh Kaisar. Valentine dipenjara. Oleh karena ia menentang aturan kaisar dan menolak mengakui dewa-dewa Romawi, dia dijatuhi hukuman mati.
Di penjara, dia bersahabat dengan seorang petugas penjara bernama Asterius. Petugas penjaga penjara ini memiliki seorang putri yang menderita kebutaan sejak lahir. Namanya Julia. Valentine berusaha mengobati kebutaannya. Sambil mengobati, Valentine mengajari sejarah dan agama. Dia menjelaskan dunia semesta sehingga Julia dapat merasakan makna dan kebijaksanannya lewat pelajaran itu.
Julia bertanya, "Apakah Tuhan sungguh mendengar doa kita?"
"Ya anakku. Dia mendengar setiap doa kita."
"Apakah kau tahu apa yang aku doakan setiap pagi? Aku berdoa supaya aku dapat melihat. Aku ingin melihat dunia seperti yang sudah kau ajarkan kepadaku."
"Tuhan melakukan apa yang terbaik untuk kita, jika kita percaya pada-Nya,"sambung Valentine.
"Oh, tentu. Aku sangat mempercayai-Nya," kata Julia mantap.
Lalu, mereka bersama-sama berlutut dan memanjatkan doa.
Beberapa minggu kemudian, Julia masih belum mengalami kesembuhan. Hingga tiba saat hukuman mati untuk Valentine. Valentine tidak sempat mengucapkan perpisahan dengan Julia, namun ia menuliskan ucapan dengan pesan untuk semakin dekat kepada Tuhan. Tak lupa ditambahi kata-kata,"Dengan cinta dari Valentin-mu" (yang akhirnya menjadi ungkapan yang mendunia). Ia meninggal 14 Februari 269. Valentine dimakamkan di Gereja Praksedes Roma.
Keesokan harinya , Julia menerima surat ini. Saat membuka surat, ia dapat melihat huruf dan warna-warni yang baru pertama kali dilihatnya. Julia sembuh dari kebutaannya.
Pada tahun 496, Paus Gelasius I menyatakan 14 Februari sebagai hari peringatan St. Valentine.
Kebetulan tanggal kematian Valentine bertepatan dengan perayaan Lupercalia, suatu perayaan orang Romawi untuk menghormati dewa Kesuburan Februata Juno. Dalam perayaan ini, orang Romawi melakukan undian seksual! Caranya, merka memasukkan nama ke dalam satu wadah, lalu mengambil secara acak nama lawan jenisnya. Nama yang didapat itu menjadi pasangan hidupnya selama satu tahun. Lalu pada perayaan berikutnya mereka membuang undi lagi.
Rupanya Paus tidak sreg pada cara perayaan ini. Karena itulah, gereja sedikit memodifikasi perayaan ini. Mereka memasukkan nama-nama santo dalam kotak itu. Selama setahun setiap orang akan meneladani santo yang tertulis pada undian yang diambilnya. Untuk membuat acara itu sedikit lucu, gereja juga memasukkan nama Simeon Stylites. Orang yang mengambil nama ini dianggap apes alias tidak mujur, soalnya Simeon menghabiskan hidupnya di atas pillar, tidak beranjak satu kali pun.
Nama Valentine lalu diabadikan dalam festival tahunan ini. Di festival ini, pasangan kekasih atau suami istri Romawi mengungkapkan perasaan kasih dan cintanya dalam pesan dan surat bertuliskan tangan. Di daratan Eropa tradisi ini berkembang dengan menuliskan kata-kata cinta dan dalam bentuk kartu berhiaskan hati dan dewa Cupid kepada siapapun yang dicintai. Atau memberi perhatian kecil dengan bunga, coklat dan permen.
Di zaman modern, kebiasaan menulis surat dengan tangan diangap tidak praktis. Lagipula, tidak setiap orang bisa merangkaikan kata-kata yang romantis. Lalu muncullah kartu valentine yang dianggap lebih praktis. Kartu Valentine modern pertama dikirim oleh Charles seorang bangsawan Orleans kepada istrinya, tahun 1415. Ketika itu dia mendekam di penjara di Menara London. Kartu ini masih dipameran di British Museum. Di Amerika,Esther Howland adalah orang pertama yang mengirimkan kartu valentine. Kartu valentine secara komersial pertama kali dibuat tahun 1800-an.
Sayangnya dari hari ke hari, perayan Valentine telah kehilangan makna yang sejati. Semangat kasih dn pengorbanan St. Valentine telah dikalahkan oleh nafsu komesialisasi perayaan ini. Untuk itulah kita perlu mengembalikan makna perayaan ini, seperti dalam 1 Yohanes 4:16: "Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia"





 Sebelum Meninggal Dia Mengatakan, “Aku Mencium Bau Surga!”

Dalam sebuah hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Ada tujuh golongan orang yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain dari naunganNya…di antaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam melakukan ketaatan kepada Allah.”
Dalam sebuah hadits shahih dari Anas bin an-Nadhr RA, ketika perang Uhud ia berkata, “Wah…angin surga, sungguh aku telah mecium bau surga yang berasal dari balik gunung Uhud.”
Seorang Doktor bercerita kepadaku, “Pihak rumah sakit menghubungiku dan memberitahukan bahwa ada seorang pasien dalam keadaan kritis sedang dirawat. Ketika aku sampai, ternyata pasien tersebut adalah seorang pemuda yang sudah meninggal -semoga Allah merahmatinya-. Lantas bagaimana detail kisah wafatnya. Setiap hari puluhan bahkan ribuan orang meninggal. Namun bagaimana keadaan mereka ketika wafat? Dan bagaimana pula dengan akhir hidupnya?
Pemuda ini terkena peluru nyasar, dengan segera kedua orang tuanya -semoga Allah membalas kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh. Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit dan mengerang sakit? Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah ia marah dan jengkel? Atau apa?
Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka, ‘Jangan khawatir! Saya akan meninggal… tenanglah… sesungguhnya aku mencium bau surga.!’ Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat tersebut di hadapan pada dokter yang sedang merawat. Meskipun mereka berusaha berulang-ulang untuk menyelamatkannya, ia berkata kepada mereka, ‘Wahai saudara-saudara, aku akan mati, jangan kalian menyusahkan diri sendiri… karena sekarang aku mencium bau surga.’
Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah. ‘ Ruhnya melayang kepada Sang Pencipta SWT.
Allahu Akbar… apa yang harus kukatakan dan apa yang harus aku komentari… semua kalimat tidak mampu terucap… dan pena telah kering di tangan… aku tidak kuasa kecuali hanya mengulang dan mengingat Firman Allah SWT,
‘Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.’ (Ibrahim: 27).
Tidak ada yang perlu dikomentari lagi.”
Ia melanjutkan kisahnya,
“Mereka membawanya untuk dimandikan. Maka ia dimandikan oleh saudara Dhiya’ di tempat memandikan mayat yang ada di rumah sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terakhir. Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesudah shalat Maghrib pada hari yang sama.
I. Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat.” Ini merupakan tanda-tanda Husnul Khatimah.
II. Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga pada persendiannya seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Padahal tubuh orang yang sudah meninggal itu dingin, kering dan kaku.
III. Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiaannya, sementara jari-jari yang lain ia genggam.
Subhanallah… sungguh indah kematian seperti ini. Kita bermohon semoga Allah menganugrahkan kita Husnul Khatimah.
Saudara-saudara tercinta… kisah belum selesai…
Saudara Dhiya’ bertanya kepada salah seorang pamannya, apa yang ia lakukan semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabannya?
Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya? Atau duduk di depan televisi untuk menyaksikan hal-hal yang ter-larang? Atau ia tidur pulas hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, narkoba dan rokok? Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia dapatkan Husnul Khatimah yang aku yakin bahwa saudara pembaca pun mengidam-idamkannya; meninggal dengan mencium bau surga.
Ayahnya berkata,
‘Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapat melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Ia gemar menghafal al-Qur’an dan termasuk salah seorang siswa yang berprestasi di SMU’.”
Aku katakan, “Maha benar Allah yang berfirman,
‘Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengam-pun lagi Maha Penyayang.’ (Fushshilat: 30-32).”






ISLAM DAN TANTANGAN ZAMAN

Evolusi kemanusiaan kita pada hari ini, di satu sisi berada pada titik kemajuan. Namun disisi lain, justru mengarah pada keterpurukan. Sejak abad 18, perkembangan teknologi meningkat begitu drastis, juga disiplin keilmuan. Penemuan-penemuan, revisi-revisi dan hal-hal yang berkaitan dengan intelektual semakin mendandani bumi yang renta ini. Dunia terasa semakin menciut dengan alat transportasi dan komunikasi. Sedikit demi sedikit, pola hidup agraris masyarakat berubah menjadi industrial dan komunikasi.

Pertarungan ideologi global telah melahirkan sistem yang hegemonik. Kekuatan-kekuatan sisa imperialis terpolarisasi baik secara politik, ekonomi dan militer. Dan kita ketahui bahwa kekuatan kapitalis untuk sementara memimpin peradaban kita. Tumbangnya rezim komunis di Sovyet kemudian menjadikan kekuatan Islam sebagai lawan berikutnya.

Di sisi budaya, proses pembaratan sedikit-demi sedikit diterapkan di masyarakat dunia ketiga. Hegemoni budaya ini tidak lain untuk melegitimasi ekploitasi negara barat, sebab kesadaran semu bentukan barat merupakan ketertundukan pemikiran.

Di sisi ekonomi, pola ekonomi neo-liberalisme telah terbenarkan oleh masyarakat dunia dengan menerima globalisasi. Efeknya kemudian sangat jelas bahwa negara-negara yang bermodal kecil “terpaksa” berkompetisi dengan negara-negara yang bermodal besar yang nanti pada gilirannya akan menjadi legitimasi terhadap penjajahan ekonomi.

Sementara Islam sebagai suatu sistem keyakinan yang didalamnya mencakup aspek transenden dan aspek sosial yang relevan dengan tiap konteks zaman, harus di reinterpretasi sebab normatifitas wahyu haruslah sejalan dengan kemanusiaan kita. Islam mesti menjadi spirit pembebasan dari keterkungkungan penindasan kemanusiaan, bukan sekedar menyibukkan diri dengan ritual tanpa penduli realitas.

Banyaknya pendapat dalam ummat Islam tentang penafsiran Islam itu sendiri, pada dasarnya memperkaya khazanah pengetahuan keislaman. Tetapi kekurang arifan dalam bersikap ternyata justru melemahkan ummat Islam itu sendiri, yang pada saat bersamaan digembosi kekuatan asing.

Di antara banyak penafsiran tentang Islam, menurut kami hanya yang mampu menterjemahkan nilai-nilai keislaman pada konteks kekinian sajalah yang mampu bertahan. Sebab roda zaman terus berputar dan meninggalkan unta dan kurma serta zaitun pada sekedar kosa kata klasik. Namun bagi ummat Islam yang cerdas tentu tidak menganggap unta, kurma dan zaitun sebagai simbol Islam, tetapi sebagai nilai universal sejati yang kontekstual dengan zamannya.

Wallahu a’lam

TUHAN TERPENJARA


Memang berbicara tentang Tuhan adalah hal yang sangat sensitif. Kadang karena sensitifitas yang berlebihan sehingga obyektifitas dan rasionalitas dalam menilai sesuatu berkurang bahkan hilang. Akibatnya adalah kesimpulan yang ditarik akan bersifat a-priori, kurang rasional dan cenderung bias. Oleh karena itu untuk membahas lebih lanjut, kita harus melepaskan sikap arogan dan subyektifitas kita.

Tulisan ini berangkat dari perenungan setelah membaca fenomena yang terjadi. Jadi walau tidak bisa terlepas dari subyektifitas penilaian, tapi setidaknya penulis berusaha obyektif melihat realitas obyektif yang terjadi.

Kata “terpenjara” bermakna ada pihak yang memenjarakan dan ada yang merasakan keterpenjaraan. Dari judul diatas, pihak yang terpenjara adalah Tuhan. Disini muncul pertanyaan. Bisakah yang maha kuasa terpenjara ? atau mengapa Ia terpenjara ? atau bagaimana Ia terpenjara ? atau benarkah Ia terpenjara ? kapan Ia terpenjara ?Sekiranya memang demikian adanya maka muncul lagi pertanyaan, siapa yang memenjarakannya ?

Jika kita menggunakan pendekatan kesejarahan, dapat dilihat bahwa agama sebagai kumpulan ajaran yang berbicara tentang Tuhan ternyata lahir dikalangan orang-orang tertindas. Misalnya Musa yang mengajarkan tentang Tuhan dikalangan Bani Israil. Musa mengajarkan kepada manusia (termasuk kita) tentang penolakan penghambaan selain Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai tujuan. Keberpihakan Tuhan begitu jelas, pada orang-orang yang menyerukan kebersamaan dan penolakan terhadap penghambaan sesama makhluk.

Pun Ibrahim a.s demikian, menyerukan kepada penuhanan Tuhan yang sesungguhnya. Isa a.s bersama orang-orang sakit, miskin, tertindas dan sama dengan pendahulunya, menyerukan penghambaan pada Tuhan. Muhammad pun demikian. Beliau menyerukan kepada Bilal (simbol egaliterian manusia) untuk azan diatas kabah (simbol kejayaan arab dan Islam). Beliau mengajarkan masyarakat tanpa kelas jauh sebelum Marx lahir. Beliau menentang praktek eksploitasi ekonomi berupa riba jauh sebelum Marx menemukan teori nilai lebih. Atas nama Tuhan mereka meneriakkan kebenaran. Atas nama Tuhan mereka mengajarkan kesejajaran manusia. Atas nama Tuhan mereka mengajak pada penyerahan diri pada Tuhan.

Jika kita menggunakan pendekatan keagamaan, ternyata dari berbagai kitab suci selalu diajarkan untuk menghormati sesama manusia, alam dan mengajak pada penghambaan pada Tuhan. Dalam salah satu surah, Tuhan bertanya : Tahukah engkau orang yang mendustakan agama ?. pertanyaan ini dijawab oleh ayat berikutnya : yaitu orang yang melalaikan shalat dan menghardik anak yatim. Dalam logika, kata “dan” berarti bukan salah satu, tapi keseluruhan. Jika hanya salah satunya terpenuhi maka tidak dapat digolongkan yang “tidak mendustakan agama”. Belum lagi puluhan bahkan mungkin ratusan ayat lain yang berbicara tentang kepedulian sosial. Atau ayat lain yang berbicara kebersamaan, keadilan dan penyeruan untuk melawan penghambaan selain Tuhan. Agama mengajarkan untuk memperbaiki hubungan vertikal kita (hablum minallah) dan hubungan horizontal kita (hablum minannas)

Lantas, dari dua pendekatan diatas apa hubungannya dengan judul tulisan ini ? Jawabannya sederhana. Jawaban dalam bentuk pertanyaan. Dimana Tuhan ketika kemiskinan terstruktur terjadi ? Dimana Tuhan ketika buruh ditindas dengan upah yang rendah. Dimana Tuhan ketika anak usia sekolah yang seharusnya sekolah tapi mereka harus jadi pemulung untuk makan. Dimana Tuhan ketika ketidakadilan dan mandulnya hukum terjadi. Dimana tuhan ketika hak-hak mendapat pengajaran terenggut oleh biaya pendidikan yang mahal. Dimana Tuhan ketika dana yang ditarik dari rakyat, dicuri oleh orang berdasi. Dimana Tuhan ketika tanah rakyat dirampas atas nama pembangunan. Dimana Tuhan ketika kelaparan melanda orang yang bertetangga dengan rumah bertingkat lima dengan mobil tiga. Dimana Tuhan ketika pengemis mencari sesuap nasi di halaman hotel berbintang lima.

Tuhan sekarang bukan lagi milik orang tertindas seperti Bilal, tapi milik penguasa. Tuhan tidak ditemui diantara fakir-miskin seperti dizaman dahulu, tapi terpenjara oleh tembok megah rumah ibadah. Tuhan tidak lagi milik para pencari Tuhan, tapi milik segelintir orang yang dianggap alim. Tuhan tidak lagi milik umat, tapi milik para politisi yang berebut kekuasaan. Tuhan tidak lagi milik umat, tapi milik sebagian ulama arogan yang suka mengkafirkan orang yang tidak semazhab dengan dia.

Tuhan telah terpenjara didada ulama arogan dan tidak menyentuh realitas, lalu menggunakan kata Tuhan” atas sejenisnya untuk mengingat surga-neraka dan melupakan kefakiran. Tuhan telah terbelenggu oleh retorika politisi, yang olehnya jalan menuju kursi kekuasaan akan menjadi lancar. Tuhan telah terjual oleh iklan-iklan dan label halal produk kaum pemilik modal, yang olehnya masyarakat mengkonsumsi produk tanpa ragu. Tuhan telah terkungkung oleh perdebatan filosofis para filosof, yang kemudian hanya berputar-putar dialam ide mereka tanpa membumikan pemahaman mereka pada realitas.

Kita tidak akan menemukan Tuhan disekolah, kampus atau kantor. Tuhan telah terpisah dari fakir miskin, anak terlantar, buruh. Tapi sekali lagi, Tuhan telah terpenjara dibalik tembok rumah peribadatan. Atas nama Tuhan, yang halal menjadi haram, pun sebaliknya. Atas nama Tuhan yang beriman menjadi kafir, pun sebaliknya. Atas nama Tuhan, seseorang bisa menjadi penguasa. Atas nama Tuhan dan takdir yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin. Atas nama Tuhan, seseorang membunuh orang lain yang tentunya ciptaan Tuhan juga. Atas nama Tuhan, rumah peribadatan dibakar. Atas nama Tuhan, segala keinginan manusia entah baik atau buruk akan terjadi.

Sekarang terserah kita. Apakah rela melihat keterpenjaraan, keterbelengguan dan keterkungkungan Tuhan oleh orang-orang yang mengaku beragama. Atau kita membebaskan Tuhan dan mengembalikan Tuhan pada pemiliknya, yaitu orang-orang merasakan ketidakadilan, kemiskinan dan penindasan sebagai wujud pemaksaan penghambaan pada selain Tuhan ?







PERTEMUAN DENGAN BIDADARI RIEN

Cerita seru dari sebuah pengalaman seorang pemuda yang penuh misteri dari seorang yang bernama Kino. Berbagai bidadari ia temui salah diantaranya, seorang bidadari yang tak terduga. Nama panjangnya adalah Rinduwati Suliandara. Mba Rien, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru tari di Sanggar Tari Pelangi. Kino tak pernah tahu usia wanita itu yang sesungguhnya, tetapi pokoknya ia tak tampak terlalu tua, walau jelas bukan pula remaja. Wajahnya -jika memakai ukuran normal- tidaklah terlalu cantik. Tidak pula terlalu jelek. Biasa-biasa saja Tetapi Mba Rien memiliki mata yang sangat indah, bening dihiasi bulu mata lentik. Juga memiliki bibir yang -menurut Kino- sangat menarik, karena selalu kelihatan basah.

Waktu itu Kino duduk di bangku SMA, kelas dua A. Untuk usianya, waktu itu Kino tergolong “terlambat” dalam soal pacaran. Ia tidak punya teman wanita istimewa, karena baginya semua teman wanitanya sama saja. Konon ada yang naksir, namanya Alma, gadis dari kelas dua B. Tetapi Kino tidak tertarik, walau kata teman-temannya gadis itu tergolong ratu. Bagi Kino, ia memang ratu, tetapi entah kenapa ia tidak tertarik. Berenang di sungai lebih menarik bagi Kino, katimbang jalan-jalan dengan Alma.

Tetapi Mba Rien menarik hatinya sejak awal mereka berjumpa. Waktu itu, Kino mengantar adik perempuannya, Susi, ke sanggar untuk latihan menari. Kino sangat sayang kepada adik satu-satunya yang baru berusia 7 tahun itu (jarak dua kakak-beradik ini memang terlalu jauh). Dengan sepeda, diboncengnya Susi ke sanggar, dan diantarnya sampai ke ruang latihan di tengah kompleks sanggar. Saat itulah ia melihat Mba Rien, sedang mengikatkan setagen ke sekeliling pinggangnya.

“Selamat sore Susi…,” ucap Mba Rien menyapa Susi, lalu sekejap melirik Kino. Suara wanita itu lembut tetapi bernada wibawa, pikir Kino sambil melepas gandengan tangan adiknya.

“Mba Rien, ini kakak saya…,” Susi menunjuk ke Kino yang masih berdiri di pintu ruang latihan. Mba Rien mengangkat muka, dan tersenyum kepada Kino. Agak canggung, Kino membalas tersenyum dan berucap serak, “Selamat sore, mbak…”.

Mba Rien hanya mengangguk tanpa berhenti tersenyum, lalu menerima salam Susi, dan berbalik menuju tempat segerombolan anak-anak yang sedang bersiap belajar menari. Kino masih berdiri, memandang tubuh Mba Rien dari belakang, dan entah kenapa ia merasa jantungnya berdegup lebih keras. Tubuh Mba Rien menyita perhatiannya, terbungkus kain dan baju ketat, menampakkan lika-liku yang menawan. Astaga, pikir Kino, wanita ternyata bisa menarik juga!

Untuk beberapa jenak, Kino masih berdiri di depan pintu, menelan ludah berkali-kali dan merasa wajahnya merah karena malu. Kepada siapa? Entahlah. Tetapi perjumpaan pertama dengan Mba Rien berbekas keras di kalbunya. Sambil mengayuh sepedanya pulang, Kino tiba-tiba memiliki pikiran-pikiran seronok. Gila kamu! tukasnya dalam hati, menyalahkan diri sendiri. Mana mungkin kamu bisa meremas-remas tubuh itu! ucap suara lain di kepalanya. Meremas….? Dari mana datangnya ide gila itu? pikir Kino gelisah. Berkali-kali Kino merasa sadel sepedanya terasa lebih kecil dari biasanya, dan selakangannya sering terasa geli. Sial! sergahnya dalam hati.

Ketika ayah memintanya menjemput Susi, dengan bersemangat Kino mengatakan ya. Lalu, ia pun tiba di sanggar 15 menit sebelum waktu latihan selesai. Ia duduk di bawah pohon kamboja, tidak jauh dari ruang latihan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Mba Rien melenggak-lenggok mengajarkan gerakan yang diikuti oleh belasan anak-anak kecil. Pandangan Kino tak lekang dari gerakan-gerakan Mba Rien, dan entah kenapa ia kini mengerti apa artinya sebuah tari yang indah! Selama ini, bagi Kino menari adalah kegiatan perempuan yang tak menarik. Menjemukan, bahkan. Tetapi ketika melihat Mba Rien mengangkat tangan, melenggok ke kiri, menggerakkan pinggulnya …., Kino menelan ludah lagi. Bajingan kamu! ucap sebuah suara di dalam kepalanya. Kino membuang muka, mengalihkan pandangannya ke hamparan rumput. Tetapi, seperti ditarik magnit, muka Kino sesekali kembali lagi memandang ke ruang latihan.

Dari ruang tari, Rien juga bisa melihat keluar, walau perbedaan terang menyebabkan matanya agak silau jika harus memandang ke arah tempat Kino duduk. Sambil terus menggerakkan tubuhnya, Rien melirik dan mengernyit heran melihat remaja itu betah duduk sendirian. Biasanya, para penjemput murid-muridnya datang terlambat, dan tidak pernah berlama-lama di sanggar tari. Apalagi yang laki-laki, entah itu kakak atau ayah atau paman. Pada umumnya, di kota kecil ini, menari bukanlah sesuatu yang menarik untuk pria. Makanya, tingkah Kino bagi Rien agak tidak biasa.

Ketika akhirnya latihan selesai, Kino bangkit dan mendekat ke arah ruang latihan, tetapi tetap dalam keteduhan pohon kamboja. Entah kenapa, ia tak berani lebih dekat. Sebetulnya ia ingin mendekat, tetapi dadanya berdegup kencang setiap kali ia melangkah. Semakin dekat ke ruang latihan, semakin kencang degupnya. Sebab itu, ia berhenti setelah dua langkah saja. Ia akan menunggu saja sampai Susi keluar dan menghampirinya.

Rien, dengan sedikit peluh di lehernya, mengucap salam perpisahan kepada murid-muridnya. Lalu, sambil melepas stagen, ia berjalan ke pintu. Dilihatnya Susi berlari ke arah penjemputnya, remaja yang betah berlama-lama di bawah pohon kamboja menonton latihannya itu. Sambil melepas ikat rambutnya, sehingga rambutnya yang sebahu kini tergerai, Rien berdiri di pintu dan berucap lembut, tetapi juga cukup keras untuk didengar Kino.

“Kenapa tadi tidak tunggu di dalam saja, Dik…,” ujarnya. Kino cuma bisa menyeringai seperti kera sedang makan kacang.

Rien tersenyum melihat seringai remaja yang tampak kikuk itu. Kino menelan ludah melihat senyum itu. Entah kenapa, senyum itu tampak menarik sekali. Rasanya, Kino seperti disiram air sejuk. Gila kamu! ucap suara di dalam kepalanya lagi. Dan Kino pun cepat-cepat membungkuk berpamitan, lalu menggandeng tangan Susi menuju sepeda. Rien kembali tersenyum memandang kedua kakak-beradik yang akur itu meninggalkan sanggarnya.

*****

Sejak pertemuan itu, Kino sering melamunkan Mba Rien. Lebih gila lagi, saat mandi dan menyabuni tubuhnya, Kino merasakan darahnya berdesir membayangkan Mba Rien. Percuma ia mengguyurkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya, tetap saja kelaki-lakiannya perlahan menegang. Aduh celaka! jeritnya dalam hati, ketika melihat ke bawah. Cepat-cepat ia menyabuni dirinya, lalu membilasnya, membungkus tubuhnya dengan handuk dan lari ke luar kamar mandi menuju kamarnya. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat tonjolan di bawah pinggangnya yang terbungkus handuk itu!

Malam hari, ketika ia gelisah bergulang-guling di ranjangnya, Kino kembali membayangkan Mba Rien. Lagi-lagi terbayang pinggulnya yang padat berisi, pinggangnya yang ramping, dan dadanya yang membusung walau tidak terlalu besar. Kino juga terkenang lehernya yang agak basah oleh keringat. Juga bibirnya. Ya, bibirnya itu yang paling menawan. Selalu basah, dan tampaknya lembut sekali. Apalagi kalau ia tersenyum, menampakkan sedikit gigi-giginya yang putih. Bagaimana rasanya menggigit bibir itu?

Kino makin gelisah, sebab kini kelaki-lakiannya menengang lagi seperti ketika ia sedang mandi. Malam sudah agak larut, dan rumah sudah sepi. Tak ada suara-suara, selain jangkerik. Kino menelungkupkan tubuhnya. Celaka, justru gerakan itu menyebabkan kelaki-lakiannya terjepit di antara tubuhnya dan kasur yang empuk. Tanpa sadar, Kino menggerak-gerakkan badannya, menggesekkan kelaki-lakiannya ke kasur. Matanya terpejam, dan terbayang ia berada di atas tubuh Mba Rien. Terbayang ia mengulum bibir Mba Rien yang basah. Terbayang dadanya yang ceking menempel di dada Mba Rien yang kenyal. Gila! Kino terlonjak ketika merasakan cairan hangat mengalir cepat membasahi celana dalamnya. Untung ia sigap, sehingga seprai tidak ikut basah.

Hanya saja, di pagi hari ia harus mencari alasan untuk bisa mencuci sendiri celana dalamnya, tanpa harus mencuci pakaian anggota keluarga yang lain!

*****

Beberapa hari setelah perjumpaan pertamanya dengan Kino, kembali Rien terheran melihat remaja itu sudah ada setengah jam sebelum latihan usai. Setengah jam! Betapa lamanya ia akan menanti di situ sendirian, ucap Rien dalam hati sambil terus menggerakkan badannya di depan para penari cilik. Berkali-kali Rien melirik ke arah pohon kamboja, dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa gerangan remaja itu begitu betah menunggu adiknya. Terlebih-lebih lagi, remaja itu selalu memandang ke dalam dengan seksama. Sialan, mungkin ia tertarik melihat tubuhku, umpat Rien dalam hati. Tetapi, mungkin juga ia tertarik pada tarianku. Siapa tahu? Atau mungkin tertarik pada dua-duanya, ucap Rien dalam hati. Ia tersenyum sendiri ketika mengambil kesimpulan terakhir ini.

“Satu … dua…tiga …. empat, putar……,” Rien memutar tubuh memberi contoh, diikuti oleh bidadari-bidadari kecil yang tertatih-tatih mencoba meniru sesempurna mungkin.

“Satu .. dua … tiga … empat, putar….,” suaranya lembut, tetapi tegas dan cukup nyaring.

Kino menyenderkan tubuhnya di batang pohon kamboja. Sayup-sayup suara Mba Rien sampai di telinganya. Terdengar merdu. Gila! semua yang berhubungan dengan wanita itu selalu bagus. Apa-apaan ini? sebuah suara menghardik di kepala Kino, membuatnya tertunduk sendiri. Dicabutnya sebatang rumput, dimain-mainkannya di antara jari-jarinya. Kino merenung, bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi dalam dirinya. Mengapa Mba Rien jadi begitu menarik, padahal ia jauh lebih tua dariku? Mengapa Alma yang seusia dengannya itu tidak semenarik Mba Rien, padahal Alma juga cantik. Kino menarik nafas dalam-dalam, lalu kepalanya terangkat lagi, memandang lagi ke dalam ruang latihan.

Cuma kali ini ia tidak melihat Mba Rien di sana. Dipanjang-panjangkannya lehernya, mencari-cari, kemana gerangan wanita itu. Kino bahkan memiringkan tubuhnya, sampai hampir rebah ke kiri, untuk melihat sudut terjauh yang masih terjangkau pandangan. Mba Rien tidak ada, sementara murid-muridnya masih bergerak sesuai irama musik dari tape-recorder. Kemana dia?

Hampir copot rasanya jantung Kino, ketika tiba-tiba Mba Rien muncul dari balik tembok rumah di sebelah ruang latihan. Rupanya, ada gang yang menghubungkan rumah itu dengan ruang latihan, yang tidak terlihat dari tempat Kino duduk. Rupanya Mba Rien meninggalkan murid-muridnya untuk masuk ke rumah itu. Dan kini ia berjalan kembali ke ruang latihan, tetapi tidak melalui gang, melainkan lewat pintu depan. Lewat di depan Kino, melenggang santai dengan kainnya yang ketat membungkus tubuhnya yang indah.

“Hayo.., tunggu di dalam, Dik!” ucap Mba Rien menghentikan langkah sebelum masuk. Senyum yang memikat Kino terhias di bibirnya. Kino menelan ludah, tak bisa menyahut, dan cuma bisa meringis lagi. Betul-betul seperti kera yang sedang kepedasan.

“Hayo …,” ajak Mba Rien lagi, lembut tetapi tegas.

Kino bangkit, dan dengan ragu-ragu melangkah mendekat. Mba Rien tertawa kecil, lalu melanjutkan langkah mendahului masuk. Pelan-pelan Kino menyusulnya. Ketika ia tiba di ruang latihan, Mba Rien sudah berputar-putar lagi memberi contoh gerakan tarinya. Kino mencari-cari bangku untuk duduk, tetapi tak ada satu pun di sana. Ia lalu berdiri saja, menyender di sebuah tiang yang cukup besar.

Rien melirik, melihat remaja itu berdiri kikuk. Kasihan, pikirnya. Tetapi biarlah begitu, kalau ia memang tertarik pada tarianku -atau tubuhku!- biar saja ia berdiri sampai pegal. Tersenyum Rien mendengar kata hatinya yang terakhir ini. Ya, biar dia berdiri sampai pegal!

Selama 20 menit, Kino berdiri saja melihat adiknya latihan menari. Susi terlihat senang melihat kakaknya sudah hadir. Berkali-kali Susi kelihatan ketinggalan langkah, karena ia tersenyum-senyum kepada kakaknya. Kino mengernyitkan dahinya, meletakkan telunjuk di bibirnya, memperingatkan Susi agar tetap serius. Rien tersenyum melihat tingkah keduanya.

Ketika akhirnya latihan selesai, Kino bernafas lega. Bukan saja karena ia sudah pegal berdiri, tetapi juga karena sebenarnya ia agak tersiksa. Betapa tidak? Sejak tadi ia terpesona oleh gerak Mba Rien, tetapi ia harus menyembunyikan perasaan itu. Betapa sulit!

Rien berjalan mendekati Kino sambil melepas stagen. Kino berdiri kikuk ketika akhirnya Rien berdiri di hadapannya, cukup dekat untuk mencium bau keringatnya yang ternyata tidak mengganggu Kino.

“Suka menari?” tanya Rien. Matanya memandang lekat remaja di hadapannya. Senyumnya mengembang halus. Kino menelan ludah lagi.

Kino menggeleng kuat. Rien tertawa kecil, “Saya pikir kamu suka. Sebab, kamu betah menunggu adikmu latihan.”

“Saya …., sebetulnya saya suka ..,” ucap Kino tergagap.

“Oh, ya???” Rien membelalakan matanya yang indah, senyumnya mengembang lagi. Kino menelan ludah lagi. “Seberapa suka, sebetulnya …,” tanya Rien lagi, ringan.

“Mmmm … saya suka menonton saja.” jawab Kino sekenanya.

“Menonton anak-anak kecil menari?” tanya Rien. Wah! Kino tertunduk, mukanya tiba-tiba terasa panas. Sial!

Rien tergelak melihat Kino tertunduk malu. Kini ia tahu apa yang sesungguhnya ditonton laki-laki belia ini! Ia ke sini untuk menontonku, melihat tubuhku! Dan kesimpulan ini membuat dirinya senang. Bagi Rien, menyenangkan penonton adalah tujuan utamanya menari, bukan?

“Siapa nama kamu?” tanya Rien lembut sambil melepas ikat rambutnya. Kino mengangkat muka, melihat kedua tangan Rien terangkat, dan samar-sama kedua ketiaknya yang mulus terlihat dari lengan bajunya yang agak tersingsing.

“Kino..,” terdengar jawaban pelan. Rien tersenyum lagi, sengaja berlama-lama membuka ikat rambutnya, membiarkan remaja itu melihat apa yang ingin dilihatnya. Nakal sekali kamu, Rien! sebuah suara terdengar di kalbunya.

Siksaan bagi Kino baru berhenti ketika Susi menarik tangannya pulang. Sambil menggumamkan selamat sore, ia berbalik dan menggandeng adiknya ke tempat sepeda.

“Datang lagi, yaaa!” seru Rien ketika Kino sedang bersiap mengayuh. Duh! Kino jadi serba salah. Apakah ia harus menjawab seruan itu? Ah, sudahlah! sergahnya dalam hati dan cepat-cepat mendayung. Dari kejauhan Rien memandang kakak-beradik itu menghilang di balik tikungan. Senyum manis masih di bibirnya.

Demikianlah seterusnya, Kino semakin terpikat oleh wanita yang pandai menari dan pandai menggoda itu. Sekali waktu ia mencoba menghindar, meminta kepada ayah untuk tidak usah menjemput Susi dengan alasan harus latihan bola kaki. Selama empat kali latihan, ia tidak mampir ke sanggar, dan tidak berjumpa Mba Rien. Dan itu artinya, sudah sebulan ia tidak melihat tubuh molek itu melenggak-lenggok. Lama juga, ya?

Sampai suatu hari, ada pertunjukkan dari di balai kota, diselingi permainan band sebuah kelompok amatir yang cukup populer di kota kecil ini. Kino datang bersama teman-temannya, tentu hanya untuk menonton band. Acara tari-tarian di sore hari dilewatkan saja. Rombongan Kino baru tiba di atas pukul 8, saat band mulai naik panggung.

Di situlah Kino berjumpa lagi dengan Mba Rien. Saat band memainkan lagu ketiga, Kino pergi ke belakang panggung untuk buang air kecil, karena di sana lah terdapat toilet untuk umum. Saat kembali ke tempat duduknya, sewaktu meliwati pintu yang menuju tempat pemain berganti pakaian, Kino melihat Mba Rien duduk di sebuah bangku. Langkahnya terhenti, lalu ia menyelinap ke balik tembok yang agak gelap. Dari situ, ia bisa melihat Mba Rien, tetapi wanita itu tidak bisa melihatnya.

Rien memakai jeans ketat dan sebuah kaos agak longgar berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan agak basah oleh keringat. Ia tampak letih, dan sedang menikmati sebotol minuman dingin. Bibirnya menjepit sebuah sedotan, dan matanya tampak melamun. Bagi Kino, Mba Rien tampak menawan malam itu. Ia kemudian melihat wanita itu bangkit menuju ke sebuah kamar di belakang panggung. Kino mengikuti gerak-geriknya dengan seksama, aman dalam lindungan bayang-bayang yang gelap. Tak lama kemudian, tampak Mba Rien membuka sebuah pintu, dan di dalam terlihat terang berderang tetapi sepi. Berjingkat, Kino berpindah tempat sehingga bisa memandang lebih bebas ke dalam ruangan itu.

Rien menutup pintu ruang, tetapi rupanya kurang begitu kuat mendorong, sehingga masih tersisa celah untuk melihat ke dalam. Dengan jantung berdegup kencang, Kino melihat ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa. Semua orang berada di depan panggung asyik menonton band. Pelan-pelan ia melangkah mendekati ruang yang ternyata adalah ruang ganti pakaian bagi para artis. Ia tiba di depan pintu ruang itu, dan dari celah yang tersisa, ia bisa melihat ke dalam. Kino menelan ludah, dan menahan kagetnya. Di dalam, Mba Rien tampak sedang membuka kaosnya, membelakangi Kino. Tubuhnya yang putih dan padat terlihat jelas, apalagi kemudian ia berputar menghadap sebuah cermin yang pantulannya terlihat dari tempat Kino berdiri. Ia bisa melihat dua payudara yang indah, terbungkus beha yang tampak terlalu kecil. Lutut Kino terasa bergetar.

Kemudian tampak Mba Rien melepas celana jeansnya. Kino merasa kakinya terpaku di tanah. Dengan kuatir ia melihat ke sekeliling, takut kepergok. Tetapi suasana di sekitar ruang ganti itu tetap sepi. Maka ia tetap mengintip ke dalam. Jeans sudah dibuka dan tergeletak di lantai. Mba Rien hanya bercelana dalam dan berbeha, dan tubuhnya indah bukan main. Putih mulus, padat berisi. Kino berkali-kali menelan ludah. Pemandangan indah itu berlangsung tak lebih dari 10 menit, karena kini Mba Rien sudah berganti rok panjang dan baju hem coklat. Tetapi bagi Kino, rasanya lama sekali. Cepat-cepat ia berbalik dan tergopoh kembali ke depan panggung.

Rien mendengar suara langkah orang. Terkejut, ia segera lari ke pintu dan melihat pintu belum tertutup sepenuhnya. Celaka, pikirnya, seseorang tadi mengintipku berganti pakaian. Cepat-cepat dikuaknya pintu, dilongokkannya kepala, bersiap berteriak jika memergoki si pengintip. Tetapi di luar sepi, tidak ada siapa-siapa. Ah, mungkin cuma perasaanku saja, pikir Rien.

Sementara itu, di depan panggung Kino gelisah mengenang pengalamannya. Lagu-lagu yang dibawakan band di depannya terasa hambar. Teman-temannya terlihat girang, tetapi ia sendiri kurang bergairah. Dengan alasan mengantuk, ia pulang lebih dulu dari teman-temannya yang keheranan. “Ada apa denganmu, Kino?” tanya sobatnya, Dodi. Ia tidak menjawab, dan hanya menggumam sambil melangkah meninggalkan arena pertunjukkan. “Dasar kutu buku …,” gerutu Iwan, temannya yang lain. Kino tak peduli, dan terus melangkah menembus malam.

Dan malam itu, Kino menikmati hayalnya di atas ranjang, meremas-remas kelaki-lakiannya yang menegang sambil membayangkan tubuh mulus Mba Rien. Tak berapa lama, ia mengerang tertahan, merasakan cairan hangat memenuhi telapak tangannya. Dengan tissue yang sudah disiapkannya, ia melap tangannnya, lalu tidur nyenyak sambil berharap bertemu Mba Rien di alam mimpi. Namun mimpinya ternyata kosong belaka, tentu karena ia sebetulnya sudah sangat mengantuk malam itu. Apa yang terjadi ?

Seminggu setelah Kino mengantar Susi ke sanggar Mba Rien. Sebelum berangkat, ia sudah bersumpah untuk tidak berlama-lama. Begitu sampai, ia akan segera melepas Susi dan kembali kerumah secepatnya. Kepada Susi ia telah pual berpesan agar tidak perlu diantar sampai pintu ruang latihan. Susi mencibir manja, tetapi tidak membantah ucapan kakaknya.
Namun semua rencana buyar ketika ternyata Kino berjumpa Mba Rien di gerbang halaman sanggar. Turun dari sepedanya, Kino tergagap menyampaikan salam kepada wanita yang tubuhnya memenuhi hayal Kino seminggu ini.
“Hai, Kino … lama sekali kamu tidak kelihatan. Kemana saja?” sambut Mba Rien riang.
“Sibuk, mbak..,” jawab Kino menunduk. Adiknya sudah turun dan berlari masuk.
“Wah… begitu sibuknya, sampai tidak sempat menonton Mba Rien lagi, ya!?” sergah Mba Rien sambil tersenyum manis. Kino menyahut dengan gumam tak jelas, dan menunduk seperti seorang pesakitan di hadapan polisi.
“Eh .. tidakkah kamu ingin melihat adikmu menari lengkap?” ucap Mba Rien lagi, dan tiba-tiba tangannya telah menyentuh tangan Kino. Tergagap, Kino menjawab sekenanya, tetapi entah apa isi jawaban itu, ia sendiri tak ingat!
“Hayo masuk, sekali ini kamu bisa melihat anak-anak menari sampai selesai!” kata Mba Rien yang kini sudah memegang erat satu tangan Kino dan menariknya masuk ke halaman sanggar. Kino tak kuasa menolak, dan dengan kikuk ia mengikuti langkah Mba Rien sambil menyeret sepedanya.
Mba Rien tidak memakai kain sore ini. Tubuhnya dibungkus rok span hitam dan hem kuning muda dengan leher V yang agak rendah. Ia juga tidak berdiri memberi contoh di depan anak-anak, melainkan duduk bersimpuh di lantai, di sebelah Kino yang bersila. Dari tempat mereka duduk, Kino bisa melihat anak-anak menari lengkap tanpa instruksi Mba Rien. Bagi Kino, anak-anak itu kelihatan seperti daun-daun kering yang berterbangan di tiup angin. Jauh sekali bedanya dibandingkan dengan jika yang menari adalah Mba Rien.
Kino melirik ke sebelah kanannya, tempat Mba Rien bersimpuh. Darahnya berdesir cepat melihat rok span wanita itu terangkat sampai setengah pahanya. Aduhai, pahanya mulus sekali, dihiasi bulu-bulu halus yang hampir tak tampak. Betisnya juga indah sekali, tidak terlalu besar, tetapi juga tampak kokoh karena sering berdiri lama ketika menari. Mba Rien sendiri sedang serius memperhatikan anak-anak menari, sehingga tidak menyadari bahwa remaja di sampingnya sedang sibuk menelan ludah!
Ketika suatu saat Mba Rien harus berganti posisi bersimpuhnya, Kino mencuri pandang lagi. Sekejap, ia bisa melihat seluruh pangkal paha Mba Rien. Celana dalam berwarna putih, tipis menerawangkan warna kehitaman di selangkangan, membuat Kino terkesiap. Cepat-cepat dialihkannya pandangan kembali ke tempat anak-anak menari.
Rien menoleh untuk menanyakan sesuatu, tetapi seketika ia melihat wajah Kino seperti kepiting rebus. Ah, ia tiba-tiba sadar akan posisi duduknya. Remaja yang sekarang sedang pura-pura memperhatikan tarian itu pasti tadi melihat rok ku tersingkap, pikir Rien menahan tawa. Minta ampun, remaja sekarang begitu cepat matang! Rien membatalkan keinginannya untuk menanyakan komentar Kino. Sebaliknya, ia malah bangkit membuat Kino memalingkan muka dengan wajah bersalah. Pikir Kino, jangan-jangan ia tahu aku tadi melihat pahanya.
“Kamu mau minum, Kino?” tanya Mba Rien setelah berdiri, dan tanpa menunggu jawab ia berkata lagi, “Yuk, ikut saya ambil minum di ruang sebelah.”
Kino bangkit dan mengikuti wanita pujaannya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Entah kenapa, wanita ini tidak bisa kubantah! ucapnya dalam hati.
Ruangan itu terletak di sebelah ruangan latihan, berupa sebuah dapur lengkap dengan meja makannya. Ada sebuah lemari es besar, dan Mba Rien tampak sedang membukanya dan mengambil beberapa minuman botol. Kino berdiri tidak jauh di belakangnya, melihat dengan takjub tubuh yang agak membungkuk di depannya. Kepala Mba Rien tersembunyi di balik pintu lemari es, tetapi bagian belakang tubuhnya yang seksi terlihat nyata di mata Kino. Gila! Segalanya terlihat indah! umpat Kino dalam hati.
Kemudian mereka minum sambil duduk di kursi makan. Mba Rien menawarkan kue, tetapi Kino menolak halus. Mereka berbincang-bincang, atau lebih tepatnya Mba Rien bercerita tentang segala macam. Kino lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Entah kenapa, Rien sendiri merasa semakin dekat dengan remaja di hadapannya. Rien merasa bahwa Kino adalah adik lelaki yang tak pernah dimilikinya. Saudara kandungnya semua perempuan, dan tinggal di lain kota. Di sini ia hidup sendirian, di sebuah kamar indekos tak jauh dari sanggar.
Untuk Rien, Kino adalah remaja yang menyenangkan. Tidak berulah seperti kebanyakan remaja seusianya. Kino juga sopan, walaupun matanya sering nakal. Ah, seusia itu pastilah sedang mengalami kebangkitan gairah seksual. Ia ingat, pada usia seusia Kino dulu, ia juga mengalami “revolusi” yang sama. Saat itu, pikirannya tak lekang dari gairah seks dan lawan jenis. Kino pastilah tak berbeda, cuma ia sangat sopan dan pemalu.
Sore itu mereka berpisah karena latihan menari telah usai. Kino mengucapkan terimakasih atas suguhan Mba Rien, dan Rien melambai di gerbang sambil mengucap, “Jangan bosan kemari, ya, Kino!”
Ah, bagaimana aku bisa bosan? ujar Kino dalam hati.

Hubungan Rien dan Kino berkembang cepat bagai api membakar ilalang kering. Susi sudah tidak lagi latihan menari, karena kini ayah dan ibu menyuruh Susi lebih berkonsentrasi ke pelajaran sekolah. Ujian akan berlangsung tiga bulan lagi. Kino tidak lagi mengantar Susi, tetapi justru kunjungannya ke sanggar semakin sering!
Ada satu hal yang membuat mereka semakin dekat. Keduanya suka berenang, dan Rien dengan senang hati mengajak Kino ke pantai jika waktu senggang. Seperti kali ini, Kino pulang lebih cepat karena guru-gurunya harus berseminar di luar kota. Dari sekolah, Kino menuju sanggar untuk melihat kalau-kalau Mba Rien ingin berenang. Dan ternyata Rien memang sedang tidak berkegiatan, sedang sendirian membaca-baca majalah di sanggar.
“Berenang, yuk, Mba Rien..,” ajak Kino. Kini ia sudah berani mengajak duluan, setelah berkali-kali mereka berenang bersama di sungai, di kolam renang, maupun di pantai. Selama itu, mereka berenang bersama-sama dengan beberapa orang lainnya. Kadang-kadang bersama Dodi dan Iwan, sahabat Kino. Kadang-kadang bersama Niken, salah seorang penari di sanggar. Teman-teman Kino pun kini tahu, bahwa di antara Mba Rien dan Kino “ada apa-apa”. Tetapi mereka cuma bungkam, karena Kino pasti akan berang setiap kali topik itu diangkat dalam pembicaraan.
Siang itu mereka berenang berdua saja. Teman-teman Kino memilih memancing di danau di luar kota. Niken tidak ada di sanggar karena harus belanja ke pasar. Rien dengan senang hati menerima ajakan Kino, dan segera mengambil pakaian renang dan sepedanya.
Di pantai tidak banyak orang, karena ini memang bukan hari libur. Rien mengajak Kino ke sebuah bukit pasir yang dipenuhi semak, karena tempat itu jauh lebih sejuk di bandingkan tempat di mana orang-orang biasa berenang atau bermain pasir. Kino menurut saja. Mereka pun lalu berenang, bermain-main air dan saling berlomba mencapai batu karang di tengah laut. Mba Rien bukanlah perenang yang dapat diremehkan, begitu selalu kata Kino kepada teman-temannya. Tubuhnya gesit seperti ikan, dan tahan berenang berjam-jam.
Setelah puas berenang, mereka kembali berteduh di bawah semak-semak. Kino menggelar dua handuk lebar yang selalu dibawanya jika berenang ke pantai. Rien merebahkan tubuhnya yang penat di sebelah Kino yang juga sudah tergeletak kecapaian. Mereka terdiam mendengarkan debur ombak memecah pantai. Kino memejamkan mata dan merasakan otot-otot tubuhnya pegal dan sedikit linu.
“Kino..,” tiba-tiba Rien berucap, hampir tak terdengar.
“Hah?…” Kino kaget dan setengah bangkit. Mba Rien masih tergeletak dengan mata tertutup, tetapi bibirnya tersenyum.
“Ada apa, Mba?” tanya Kino.
“Aku mau tanya, tetapi kamu musti jawab yang jujur ya!” kata Mba Rien, masih memejamkan mata dan tersenyum. Kino cuma diam.
“Kino .., kamu senang melihat saya, bukan?” tanya Mba Rien pelan. Kino cuma diam, tak tahu harus menjawab apa. Di hadapannya tergeletak seorang wanita dewasa, dengan tubuh sempurna, basah oleh air laut, dan bertanya seperti itu! Apa jawabannya?
“Lho, kenapa diam?” sergah Mba Rien, kini membuka matanya, memandang Kino dengan sinar mata yang menembus kalbu. Kino menelan ludah, lalu menunduk.
Rien lalu bangkit, duduk bersila menghadap Kino yang kini juga sudah duduk dengan kepala agak menunduk. Lalu Rien melakukan sesuatu yang selama ini tak pernah terduga oleh Kino. Ia membuka pakaian renangnya, menanggalkan bagian atasnya, memperlihatkan buah dadanya yang ranum, putih mulus dan basah berkilauan! Aduhai indahnya dua bukit kenyal yang turun naik seirama nafas pemiliknya, dengan puncak yang dihiasi dua puting coklat kehitaman, berdiri tegak bagai menantang!
Kino mengangkat muka, pandangannya terpaku di kedua payudara indah di hadapannya. Mulutnya terkunci rapat. Rien tersenyum melihatnya, lalu dengan lembut digenggamnya kedua tangan Kino. “Jangan malu, Kino. Katakan kamu memang suka melihat tubuh saya, bukan?” ucapnya setengah berbisik. Kino menangguk pelan.
“Ingin menyentuhnya?” bisik Mba Rien lagi. Kino tergagap, mengangkat mukanya dan memandang wajah wanita di depannya tak percaya. Tetapi di wajah itu ada sepasang mata yang sangat sejuk, bagai danau di kaki bukit tempat teman-temannya biasa memancing. Sebuah hamparan air yang tampak tenang meneduhkan hatinya yang bergejolak.
“Apa maksud, Mba Rien?” ucap Kino tersekat.
“Tidak inginkah kamu menyentuh dadaku?” jawab Mba Rien, genggaman tangannya semakin kuat, dan kini perlahan-lahan mengangkat tangan Kino. Tersenyum lagi, Rien merasa betapa kedua tangan itu bergetar. Cepat-cepat kemudian ia meletakkan kedua tangan Kino di dadanya, di puncak-puncak payudaranya yang membusung. Kino segera menarik kembali tangannya, bagai menyentuh benda bertegangan listrik. Rien tertawa kecil.
“Hayo, pegang lagi…,” ucapnya ringan. Diraihnya lagi kedua tangan Kino dan diletakkannya kembali di atas payudaranya. Kali ini Kino tak menarik tangannya, dan membiarkan kedua telapak tangannya menerima sebuah kelembutan, kehangatan, kekenyalan, dan entah apa lagi …. semuanya serba menakjubkan. Pelan-pelan, Kino mulai memegang lebih erat, menempelkan seluruh telapaknya di puncak-puncak payudara Mba Rien. Baru kali ini, setelah lepas dari susu ibunya 13 tahun yang lalu, Kino memegang kembali payudara seorang wanita!
“Senang?” tanya Mba Rien, masih dengan suaranya yang setengah berbisik, setengah menuntut. Kino hanya bisa mengangguk dan menatap lekat mata Mba Rien, seakan-akan hanya dari kedua mata itulah ia bisa memiliki kekuatan untuk hidup saat ini.
Lalu Mba Rien menurunkan tangan Kino, mengenakan kembali pakaian renangnya, dan mengusap lembut wajah Kino. “Kamu sekarang sudah dewasa, Kino!” ucapnya riang, sambil bangkit dan menarik tangan Kino untuk ikut berdiri. Lalu ia berlari, menyeret Kino kembali ke laut, terjun sambil berteriak riang, dan melesat meninggalkan Kino menuju batu karang di tengah.
Kino merasa tubuhnya yang panas bagai bara dicelupkan ke dalam air dingin, segera memadamkan api yang tadinya sudah hampir membesar. Kino menyelam sedalam-dalamnya, seakan-akan hendak bersembunyi dari rasa malu yang tiba-tiba mengukungnya. Tapi kemudian ia segera timbul kembali, segera bersemangat lagi mengejar wanita yang baru saja memberinya pelajaran sangat berharga dalam hidup ini. Aku telah dewasa! jeritnya dalam hati






Islam Iran Vs Islam Indonesia ?


Plagiat !!! Ya, begitulah disaat kita baca judul diatas. Betapa tidak, Kang Jalal dalam kata pengantarnya pada buku “Bahkan Malaikat Bertanya”nya Jeffrey Lang telah memaparkan benang merah kondisi umat Islam di Amerika dengan di Indonesia. Tapi Kang Jalal sendiri juga telah memaparkan tabaruk dalam buku rindu rasulnya. Mudah-mudahan dengan keterbatasan penulis yang kurang mampu membedakan tabaruk dengan plagiat, tulisan ini bernilai tabaruk.
Pernah suatu saat kami berkumpul dengan komunitas yang intelek di suatu tempat dimana kata “masya Allah” dan Ustad menjadi sangat lazim. Komunitas yang intelek tersebut sering “mengerjai” dengan mencium kaki dengan cara anarkis. Harus diakui, keintelektualan mereka yang “super” telah menghegemoni orang lain disekitarnya. Sehingga ketika ingin bergaul dengan mereka, paswordnya adalah “Ustas” atau mencium tangan ketika bersalaman. Dan sekali lagi, hal ini menjadi sangat lazim.
Suatu hari mereka membahas dengan wacana “langit”. Mulai dari al-asfarnya Mulla Shadra, wilayatul faqihnya Imam Khomeini, hingga mengukur maqom. Ketika berhasil melewati jenjang “pendidikan” (mulai kajian logika hingga fikih), mereka kemudian mencari lawan debat dari mazhab pemikiran lain. Hasilnya, retorika campur logika sangat ampuh mematahkan argumen lawan debat. Muncullah pendekar ilmiah dari padepokan syiah. Mungkin pendekar ilmiah ini yang dikenal gramsci dengan intelektual organik, atau menurut syariati sebagai rausyan fikr. Tapi entahlah, yang jelas kemenangan dalam berdebat memiliki kenikmatan tersendiri.
Ada yang kemudian ingin menurunkan teks normatif kitab suci dalam alam materi ini mentah-mentah. Juga ada yang melangit dengan wacana filosofisnya untuk persoalan yang bukan falsafi. Namun kemudian wacana langit ini menjadi tren. Maqom seseorang diukur dari ketawadhuan atau secerdas apa dia membicarakan empat perjalanan atau wacana syiah lainnya.
Tapi ada yang aneh. Kecerdasan, rasionalisme, dan sikap kritis mereka sangat hebat ketika berhadapan dengan aliran pemikiran lain. Namun kemudian, kelebihan itu hilang ketika membicarakan tentang hal-hal dalam tasayyu sendiri. Akhirnya muncullah idiom “kalau kitami yang bilang, atau saya budak ta” dan hal yang aneh lainnya.
Ada yang kemudian selalu bercerita “kalau di Qum itu…..” atau kalimatnya dimulai dengan “Di Iran….” Ataupula kalimat lain yang selalu mengacu ke Iran. Memang patron syiah adalah Iran. Tanpa sadar, terpatri di pikiran kita, Iran adalah Syiah dan Syiah adalah Iran. Kita kemudian berusaha meng-Iran-kan Indonesia, atau meng-Qum-kan Makassar. Ini mirip perilaku saudara wahabi kita yang berusaha meng-Arab-kan Indonesia.
Untuk sementara kita pindahkan pembicaraan. Hari ini hari Asyura. Hari terbantainya Al-Husein dan keluarga berserta sahabatnya. Hari penderitaan kita semua. Hari terkuburnya nilai kemanusiaan, hari yang kemudian menjadi simbol keangkuhan Bani Umayyah. Hari ini, para ahlul bayt tidak butuh tangis kita, namun komitmen kita sebagai pengikutnya. Kita sepakat bahwa mereka adalah simbol keadilan, mereka mengajarkan keadilan pada dien yang keadilan sebagai tonggaknya. Sementara, disekeliling kita begitu banyak ketidakadilan. Tidakkah  kita sadar bahwa angka kemiskinan (yang oleh Imam sangat ingin diperangi) semakin bertambah. Tidakkah kita rasakan sistem persekolahan kita yang menindas. Tidakkah kita lihat berbagai penipuan telah menyengsarakan umat. Dan tidakkah kita pernah merenung, tentang ajaran yang kita pahami.